
Kemenangan tipis 1–0 Indonesia atas China di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia memang pencapaian besar. Hasil itu memastikan Indonesia melaju ke babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Untuk kali pertama dalam sejarah, kita menembus fase sejauh itu. Layak diapresiasi, tentu saja. Tapi kemudian, euforianya datang terlalu besar. Jam tangan mewah diberikan sebagai bentuk penghargaan. Apakah itu pantas? Mungkin iya. Tapi apakah itu waktunya? Di sanalah pertanyaannya. Karena tak lama setelah itu, Indonesia kalah telak 6–0 dari Jepang. Sebuah pertandingan yang sebenarnya bisa disebut calculated loss karena kualitas lawan di segala lini memang jauh di atas tapi tidak seharusnya setelak itu. Bahkan, satu pun shot on target tak tercipta. Padahal sebelumnya hanya kalah 3–1.
Apakah ini bisa dianggap sebagai bentuk premature optimization dalam konteks non-teknikal? Bisa jadi. Hadiah yang datang terlalu cepat kadang justru membuat fokus mengendur. Semangat jadi turun, dan rasa lapar untuk menang bisa hilang. Dalam psikologi motivasi, ini dikenal sebagai overjustification effect ketika motivasi eksternal (seperti hadiah) menggeser motivasi internal (seperti keinginan untuk terus berjuang).
Pola yang sama bisa kita temukan dalam dunia teknologi, terlalu cepat merasa harus menyempurnakan sesuatu sering kali justru berujung pada masalah baru. “Premature optimization is the root of all evil”. – Donald Knuth. Kutipan tersebut mungkin sering kita dengar saat mulai belajar/menekuni bahasa pemrograman. Tapi makin ke sini, kalimat itu terasa makin dalam terutama buat yang kerja di bidang IT. Kadang kita terlalu ingin semuanya serba cepat. Padahal, apa yang kita optimasi belum tentu penting. Bisa jadi malah menambah kompleksitas sitem dan bikin rekan setim makin stres.
Premature optimization, dalam banyak hal, bukan cuma soal kode. Tapi soal waktu dan prioritas. Mau itu di lapangan sepak bola, di server production, atau di kepala kita sendiri.
Bentuk-bentuk optimasi yang terlalu dini:
- Membuat sistem failover multi-region padahal uptime masih di bawah SLA.
- Belum punya observability, tapi udah tuning latency.
- Belum ada bottleneck, tapi udah bikin 3 lapis cache.
Risiko optimasi yang terlalu dini:
| Masalah | Dampak |
| Kompleksitas meningkat | Debugging dan maintenance makin sulit |
| Fokus salah sasaran | Tim capek tapi SLA tidak tercapai |
| Reliability menurun | Sistem jadi fragile akibat over-tuning |
| Delivery melambat | Fitur lambat rilis karena terlalu banyak “tuning” |
Prinsip yang lebih sehat:
- Make it work → Make it observable → Make it fast
- Fokus ke SLO, bukan ke vanity metrics.
- Build for change, bukan untuk pamer teknologi.
Optimasi itu penting. Tapi kalau datang terlalu cepat, dia bisa jadi virus.
Seperti hadiah mewah sebelum lolos kualifikasi, premature optimization bikin kita merasa selesai padahal baru mulai. Jika sistem belum observability-ready, mungkin bukan saatnya optimasi. Jika tim masih firefighting tiap minggu, jangan dulu mikirin multi-region failover. Mulai dari apa yang perlu. Sisanya? Nanti. 🙂
Terakhir, tetap semangat untuk Timnas Indonesia. Setiap pertandingan adalah proses belajar, dan kami semua di belakang kalian. Percaya bahwa perjalanan ini belum selesai, tapi baru akan dimulai 🙂