
Beberapa waktu lalu, aku menyaksikan foam party di ruang terbuka, tak jauh dari tempat pengasingan Bung Karno & Hatta sebelum Indonesia merdeka. Busa putih memenuhi arena, anak-anak tertawa, orang dewasa ikut bermain, suasananya ringan dan tentu menyenangkan. Tapi lama-kelamaan, busanya makin tinggi menutupi wajah mereka di dalam. Dari luar, hanya tampak kepala-kepala kecil yang muncul tenggelam di antara tumpukan busa.
Dalam sistem modern, kita sering membangun lapisan demi lapisan container, orchestrator, service mesh, automation, abstraction. Setiap lapisan menambah kenyamanan dan kemudahan (kecuali service mesh, ya :p ), tapi juga menambah jarak antara kita dan realitas sistem di bawahnya. Hingga suatu saat, ketika ada incident, kita sadar, kita tak benar-benar tahu apa yang terjadi di balik busa itu. Monitoring terlihat aman, pod berjalan normal, tapi user tetap tak bisa login. Kita mengira lantainya rata, padahal mungkin ada kabel lepas atau mesin panas di bawah busa. Seperti abstraksi, busa bukanlah musuh tapi kenyamanan tanpa visibilitas adalah jebakan.
Kita senang dengan hal-hal yang membuat segalanya tampak mudah, managed service, one click deploy, auto scaling. Tapi seperti busa, yang terlihat banyak belum tentu substansial. Engineer baru masuk tim, buka dashboard, lihat metrik dan log, lalu merasa sudah menguasai sistem. Padahal itu baru permukaan. Yang sering membuat tersandung justru hal-hal yang tak terlihat. Biasanya hal ini disebut operational blindness, terlalu banyak alat, terlalu sedikit pemahaman. Kita tahu apa yang terjadi, tapi tak tahu mengapa.
Tantangan besar di banyak tim bukan hanya kompleksitas sistem, tapi juga keberlanjutan pengetahuannya. Sebagian konfigurasi dibuat oleh orang yang sudah pindah, sebagian dokumentasi tertinggal di repo lama, sebagian konteks hanya hidup di kepala seseorang. Tidak salah, tapi berisiko. Sistem masih berjalan, namun tidak jelas apa konteksnya dan siapa yang benar-benar memegang kendali karena pemahaman kolektif perlahan menguap di balik lapisan busa.

Solusinya bukan menghapus busa, tapi mengatur proporsi dan batasnya. Busa tetap boleh ada, tanpa itu arena kehilangan keseruan. Tapi kita harus tahu kapan berhenti menambah sabun, dan mulai memastikan apa yang terjadi di balik kabut putih itu.
Dalam konteks engineering:
- Kurangi lapisan abstraksi yang tidak perlu. Kalau satu service cukup di VM, tak usah buru-buru pindah ke Kubernetes hanya karena hype.
- Tambahkan observabilitas yang benar-benar membantu pemahaman, bukan sekadar visual cantik.
- Buat dokumentasi yang hidup, bukan formalitas semata.
- Dan yang terpenting, pastikan busa bisa dikuras saat dibutuhkan.
Teknologi seperti permainan busa, selalu punya dua sisi: fun dan chaos. Kita bisa menikmati keduanya asal tahu di mana batasnya. Sistem yang paling stabil bukan yang paling canggih, tapi yang paling bisa kamu pahami saat busanya mulai menutupi pandangan.